Linktodays.com – Jakarta. Polisi dituding melakukan upaya represif dan intimidatif saat mengosongkan lokasi permukiman masyarakat adat Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dugaan itu diunggah oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan (Soliper) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di akun media sosial Twitter pada Selasa (18/8).
“Pada upacara #75TahunIndonesiaMaju, @jokowi mengenakan pakaian adat Timur Tengah Selatan (TTS). Hari ini kami dihubungi perempuan dan anak Desa Pubabu, Kab TTS, NTT. Mereka menangis mendengar tiga kali tembakan peringatan yang dikeluarkan oleh Brimob,” tulis @Soliper_SP di akun twitternya, pada Rabu (19/08/2020) yang lalu.
Dalam utas atau thread yang diunggahnya itu, LSM tersebut mengungkapkan bahwa kejadian-kejadian pengusiran secara represif itu terjadi beberapa kali pada Agustus. Dia pun juga melampirkan sejumlah foto dan unggahan video yang memperlihatkan kondisi kampung sekitar yang ramai diawasi oleh aparat kepolisian.
Menurutnya, masyarakat sekitar mengalami trauma karena mendengar suara tembakan peringatan oleh kepolisian. Hal itu terjadi pada 18 Agustus 2020 kemarin, di mana Brimob mendatangi lokasi pengungsian masyarakat adat untuk mengusir mereka dari tempat itu.
Selain mendengar suara tembakan, diungkapkan akun tersebut bahwa kepolisian juga sempat menangkap seorang anak untuk dibawa ke Posko pengamanan. Namun, mereka dilepaskan beberapa saat kemudian.
Komnas HAM mengaku sudah mendapat pengaduan dari masyarakat terkait dengan dugaan pelanggaran HAM dalam proses pengosongan pemukiman tersebut.
“Komnas HAM telah menerima pengaduan dari masyarakat adat Perbabu pada Jumat (07/08/2020) lalu. Berdasarkan keterangan saksi dan korban, terdapat dugaan adanya kekerasan, upaya paksa, dan pelanggaran HAM dalam proses pengosongan pemukiman mereka,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam siaran pers sebagaimana dimuat dalam website resmi Komnas HAM.
Komnas HAM, kata dia, sangat menyayangkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Seharusnya, Pemprov NTT dapat menyelesaikan kasus ini dengan cara persuasif.
Pihaknya pun telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada Pemprov NTT pada 2012. Namun, itu tak diindahkan Pemprov NTT.
Pada 11 Agustus, Komnas HAM mengaku telah bersurat dengan Gubernur NTT dan Kapolda NTT untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang disampaikan pada Jumat (08/08/2020).
“Komnas HAM akan segera mengagendakan peninjauan langsung terkait kasus masyarakat adat Pubabu ini,” tukas Beka.
Dihubungi terpisah, Kapolres Timor Tengah Selatan Ajun Komisaris Besar Aria Sandy menampik tudingan telah melakukan upaya represif. Dia menjamin tidak ada satupun warga yang terkena pukulan atau serangan dari aparat selama bertugas.
“Kalau dikatakan represif, saya mau tanya. Siapa masyarakat yang luka, kena pukul?” kata Aria di lansir dari CNNIndonesia.com, Kamia, (20/08/2020).
Saat kejadian, katanya, kepolisian hanya berusaha menggusur masyarakat tersebut dari lahan yang sudah menjadi milik Pemprov NTT. Mereka pun diklaim telah bersepakat dengan pemerintah untuk mendapatkan ganti rugi berupa tanah seluas 800 meter dan bangunan rumah untuk ditempati.
Baca Juga: Perempuan Bisa Jadi Energi Pembangunan Indonesia, Sri Meliyana: Harus Dihargai dan Tidak Boleh di Nomor Duakan
Pada saat itu, kata dia, masyarakat tetap kukuh bertahan di lokasi itu karena terprovokasi oleh sejumlah pihak. Padahal, segala fasilitasnya telah disediakan oleh pemerintah setempat.
“Dibujuk 5 hari, tidak mau akhirnya anggota bagaimana menggerakan mereka. Mau pegang juga sungkan kan, karena perempuan dan anak-anak. Lalu anggota melepaskan gas air mata ke arah tanah,” kata Aria.
Aria memastikan bahwa tidak ada tembakan peringatan yang dikeluarkan oleh aparat. Gas air mata itu pun hanya dilontarkan untuk menarik perhatian warga yang masih menempati lahan tersebut.
“Dengan ada kejadian itu (penembakan gas air mata) kan jadi shock therapy. Akhirnya digiring pelan-pelan (keluar lahan),” tambahnya.
Kabar penangkapan seorang anak tak bersalah pun ditampik oleh Aria. Menurut versinya, anak tersebut kedapatan oleh aparat kepolisian memiliki bahan peledak di salah satu rumah. Oleh sebab itu, pihak kepolisian menangkap anak tersebut.
Setelah diinterograsi beberapa waktu, diketahui bahwa bahan peledak tersebut bukan miliknya melainkan punya salah seorang warga lain yang digunakan untuk berburu di sekitar sana. Anak itu pun dibebaskan.
“Ada namanya Korneles, dia warga yang punya bahan peledak untuk berburu. Saat ini sedang ditangani oleh reserse kami,” pungkas dia. (Red)
Sumber: CNNIndonesia.com
Discussion about this post