Linktodays.com – Jakarta. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mempertanyakan kapasitas Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbud (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Pertanyaan itu, menurut Retno, terjawab dengan polemik Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud dengan anggaran Rp595 miliar. Rabu, (29/07/20)
“Saya melihat Pak Nadiem habis dipanggil Presiden, Pak Nadiem nyatakan tidak tahu masa lalu, saya tahu masa depan, dan langsung naik gojek. Saya awalnya tidak paham. Sekarang saya paham Pak Nadiem tidak tahu sejarah. Saya rasa beliau harus belajar sejarah,” kata Retno di ILC (Indonesia Lawyers Club) yang ditayangkan tvOne, Selasa 28 Juli 2020.
Retno mengakui digitalisasi dalam semua sektor termasuk pendidikan tak bisa dihindari. Dan diharapkan hal tersebut terjawab oleh kaum milenium, di mana Nadiem dianggap sebagai wakil dari generasi milenial ini.
“Ternyata Pak Nadiem tidak bisa menjawab,” katanya.
Selain itu, Retno khawatir akan ada komersialisasi pendidikan, karena konsep merdeka belajar merupakan cikal bakal POP. Dan merdeka belajar menurutnya merupakan sebuah merek dagang yang dimiliki sebuah perusahaan, yang salah satu petinghi perusahaan tersebut saat ini menjadi pembisik Menteri Nadiem.
Retno menabahkan bahkan keluarga pahlawan Nasional yang meletakan dasar pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara tidak pernah mengkomersilkan konsep pendidikan yang saat ini menjadi dasar dari konsep merdeka belajar.
Ia menyarankan Menteri Nadiem menghentikan program program yang mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Karena pendidikan merupakan hal dasar yang harus dipenuhi oleh negara pada semua rakyatnya, karena hal tersebut sulit dipenuhi bila pendidikan menjadi mahal.
KPAI selanjutnya meminta Menteri Nadiem fokus mengevaluasi pendidikan jarak jauh di masa pandemi COVID-19 dengan kurikulumnya. Karena hasil evaluasi KPAI program ini cukup bermasalah dan harus segera diselesaikan.
“Hasil evaluasi terjadi disparitas anak kaya dan miskin. Anak kaya terlayani dengan baik, anak miskin tidak. Terjadi bias anak kota dan desa. Anak kota biasa berselancar internet, anak desa tidak termasuk gurunya. Disparitas Jawa luar Jawa, luar Jawa tidak terlayani seperti Papua,” kata Retno. (Red)
Discussion about this post