Linktodays.com – Wonosobo.
Sosok The Sin Nio merupakan pejuang dengan etnis Tionghoa asal Wonosobo. Pejuang masa revolusi 1945 ini hidup memprihatinkan di hari tuanya.
Sin Nio menjadi satu-satunya perempuan yang tergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 di bawah komando Sukarno. Dia ikut di garis terdepan perjuangan dengan senjata sederhana berupa golok, tombak hingga bambu runcing saat melawan Belanda. Selasa, (18/08/2020).
The Sin Nio memiliki semangat besar untuk menjadi pejuang kemerdekaan. Bahkan, ia sempat menyamar sebagai laki-laki agar bisa bertempur melawan Belanda. pun celana seperti pejuang laki-laki pada umumnya. Namanya di medan perang berganti menjadi Mochamad Moeksin.
“Dulu dia (The Sin Nio) sempat menyamar sebagai laki-laki agar bisa ikut berjuang. Caranya, dengan melilit bagian dada agar terlihat sebagai laki-laki,” terang Christiani, keponakan The Sin Nio, yang tinggal di Jalan Ahmad Yani Wonosobo, Senin (17/08/2020).
Namun kecemerlangannya di meda perang, tak sejalan dengan nasibnya. Ketika perang fisik usai, Sin Nio, kurang diperhatikan. Upaya dia untuk mengurus status veteran perang, tak secepat dan semudah seperti ketika dia memutuskan bergabung di garda depan perjuangan.
Untuk memperjuangkan haknya itu, Sin Nio bahkan rela tinggal seorang diri di rumah liar di dekat Stasiun Kereta Api Juanda, Jakarta. Bahkan pernah cukup lama tinggal menumpang di Masjid di daerah Petojo, Jakarta.
“Dia (The Sin Nio) tinggal di dekat rel kereta api di sekitar Stasiun Juanda. Sebelumnya juga pernah menumpang di Masjid di daerah Petojo,” kata Christiani.
“Dia (The Sin Nio) tinggal di rumah itu seorang diri hingga meninggal dunia. Dan sekitar satu bulan sebelum meninggal dia mengunjungi keponakannya di Jakarta. Memang sering berkunjung keponakannya ini yang di Jakarta. Tetapi tidak pernah mau menginap, hanya sekadar minum kopi dan cerita-cerita kemudian pulang,” ujarnya.
Cerita serupa juga disampaikan Suwarsih, menanti Sin Nio.
“Rumahnya sangat kecil di dekat stasiun. Bahkan kalau kereta lewat rumahnya sampai getar. Karena jarak dengan rel tidak ada 5 meter,” kata Suwarsih, saat ditemui di Wonosobo, Jawa Tengah, Senin (17/8/2020).
Suwarsih mengaku dua kali berkunjung ke rumah The Sin Nio di Jakarta. Pertama setelah ia menikah, kedua saat The Sin Nio meninggal dunia. Di dalam rumah tersebut hanya ada satu ruangan. Namun, untuk tempat tidur dibuatkan di bagian atas.
Namun demikian, ia mengaku tidak tahu banyak tentang sosok The Sin Nio tersebut. Namun, di mata keluarga The Sin Nio ini dikenal pemberani, apalagi sebagai seorang perempuan.
“Mamah Sin ini dikenal pemberani. Orangnya juga penyayang. Pada saat setelah menikah saya ke sana, dia juga memberi nasehat banyak. Intinya agar pernikahan saya langgeng,” kata dia.
Semua itu dilakukan Sin Nio untuk memperjuangkan haknya sebagai veteran. Dia hingga harus memperjuangkan sendirian status tersebut di Jakarta, meninggalkan kampung halamannya.
Bertahun-tahun dia terlunta-lunta di Jakarta. Dia baru diakui sebagai veteran sekitar 3 tahun sebelum meninggal dunia. Setelah usahanya berhasil, dia sudah tak mau kembali ke Wonosobo.
Setelah meninggal dunia, The Sin Nio dimakamkan di pemakaman layur Rawamangun. Kerabat di Wonosobo mengaku tidak mengetahui pasti apakah saat ini makamnya masih terlacak di pemakaman tersebut.
Pasalnya, ahli waris harus membayar Rp 100 ribu per tiga tahun. Padahal menurut sepengetahuannya, saat ini anak-anaknya semua sudah meninggal dunia.
“Karena ada aturan harus bayar Rp 100 ribu 3 tahun sekali. Dan setahu saya anaknya itu ada 3, di Wonosobo, Gombong dan Yogyakarta. Semuanya sudah meninggal dunia. Hanya ada anak mantu yang masih hidup yakni di Wonosobo dan di Gombong,” jelasnya.
Sebelum meninggal dunia, The Sin Nio ini juga menolak ajakan untuk hidup bersama anak-anaknya. Ia memilih hidup seorang diri di Jakarta. “Hidup bersama anak-anaknya juga tidak mau. Paling hanya mengunjungi keponakannya yang ada di Jakarta. Sedangkan suaminya sudah meninggal dunia lebih dulu,” tuturnya.
(*/Red)
Detiknews.com
Discussion about this post