Linktodays.com – Jakarta. Masalah utang pemerintah selalu jadi pembicaraan panas di publik. Apalagi dari laporan Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per Desember 2020 sudah tembus Rp 6.074,56 triliun, naik Rp 1.296 triliun dibandingkan akhir 2019 Rp 4.778 triliun. Minggu, (17/01/2021).
Lalu bagai mana penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani?
Sri Mulyani mengakui terjadinya peningkatan signifikan terkait posisi utang pemerintah. Menurut dia, kondisi tersebut tak terlepas dari masalah pandemi virus corona yang berdampak pada hampir seluruh sendi ekonomi Tanah Air.
“Secara nominal, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hal ini disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat COVID-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional,” tulis Sri Mulyani seperti dikutip dari laporan tersebut.
Dalam laporan APBN Kita, Sabtu (16/01/2021), utang tersebut digunakan untuk kebutuhan pembiayaan APBN 2020, termasuk untuk menangani masalah kesehatan akibat pandemi corona dan pemulihan ekonomi nasional.
Utang pemerintah sebesar Rp 6.074,56 triliun itu merupakan outstanding atau posisi utang hingga akhir 2020.
Sementara untuk 2020 saja, pembiayaan utang mencapai Rp 1.226,8 triliun. Utang baru tersebut naik hampir tiga kali lipatnya atau 180,4 persen dari realisasi tahun 2019 yang hanya Rp 437,5 triliun.
Secara rinci, pembiayaan utang itu didapatkan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.177,2 triliun atau naik 163 persen dari tahun sebelumnya. Sementara pinjaman hanya Rp 49,7 triliun atau minus 667 persen dari periode 2019.
Untuk pembiayaan investasi selama 2020 terealisasi Rp 104,7 triliun, dari target pemerintah dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp 257,1 triliun. Pembiayaan investasi ini diberikan pemerintah ke sejumlah BUMN maupun BLU akibat pandemi COVID-19.
Investasi kepada BUMN mencapai Rp 31,3 triliun, BLU Rp 31,3 triliun, dan lembaga atau badan lainnya Rp 25 triliun.
Pemberian pinjaman selama tahun lalu sebesar Rp 1,5 triliun, kewajiban penjaminan Rp 3,6 triliun, dan pembiayaan lainnya Rp 70,9 triliun.
Dengan demikian, realisasi pembiayaan anggaran selama 2020 mencapai Rp 1.190,9 triliun. Angka ini naik 196 persen dari tahun 2019 yang hanya Rp 402,1 triliun.
Adapun pembiayaan anggaran itu untuk menutup APBN yang tekor atau mengalami defisit Rp 956,3 triliun, mencapai 6,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini melebar dibandingkan akhir 2019 yang sebesar Rp 353 triliun atau 2,2 persen dari PDB.
Meski demikian, pembiayaan itu tak seluruhnya digunakan untuk menutup defisit. Sebab, pemerintah mencatat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) 2020 sebesar Rp 234,7 triliun.
SILPA itu didapatkan dari pembiayaan anggaran pemerintah sebesar Rp 1.190,9 triliun, sementara defisit anggaran sebesar Rp 956,3 triliun.
Sisa anggaran selama 2020 itu jauh lebih besar dibandingkan dengan 2019 yang hanya Rp 53,4 triliun. Sri Mulyani mengatakan, sebagian dari SILPA itu akan digunakan untuk anggaran di 2021.
“Ini sudah ada di UU APBN untuk kemampuan menggunakan SiLPA 2020,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (06/01/2021).
Dia merinci, sebanyak Rp 66,7 triliun dana SILPA itu tidak bisa ditarik. Sebab akan ditempatkan di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020.
Penempatan dana itu juga bertujuan untuk membantu dunia usaha, termasuk UMKM dengan kucuran kredit melalui perbankan.
“Tujuannya sampai perekonomian pulih dan kredit naik lagi,” jelasnya.
Baca Juga: Mendes Sebut Desa Harus Lakukan Pendataan Secara Mikro
Baca juga: Diperkirakan Sebanyak 46 Orang Tewas Akibat Gempa 6,2 M di Sulbar
Baca Juga: Menyoal Penanganan Limbah Medis
Selain itu, sebanyak Rp 50,9 triliun dana SILPA tersebut akan dialihkan untuk anggaran 2021. Termasuk untuk mendorong program vaksinasi dan pelaku UMKM.
Sementara sisanya akan dibukukan dalam saldo kas kumulatif (SAL) di Bank Indonesia untuk pertahanan kedua jika nantinya terjadi kekurangan likuiditas di 2021. (Red)
Sumber: kumparan.com
Discussion about this post